JAGA HATI DAN JAGA MULUT KITA

 

Ilustrasi gambar ibu mengalami Depresi Postpartum 

(sumber suara.com)

Pernahkah membaca berita mengenai ibu yang katanya membawa anaknya pergi selamanya? Banyak yang memberi komentar bahwa si ibu kurang "IMAN". Sebenarnya sebagai manusia kita tidak layak menilai IMAN seseorang, karena IMAN adalah hubungan vertikal antara Tuhan dengan diri kita manusia, bukan suatu hal untuk dinilai oleh sesama manusia. Lalu harus bagaimana? "Biarkan ibu-ibu BAHAGIA". Baik ibu pekerja maupun ibu rumah tangga semua mempunyai kesusahan nya sendiri, yang menurut kita JELEK atau NORAK mungkin itu bisa mendatangkan BAHAGIA bagi mereka. Yang penting jaga HATI dan MULUT kita. Tidak perlu saling menghakimi. (Gusdevi Manihuruk, Facebook 18 Juli 2022).

Sebuah paragraf yang tertulis di atas cukup menarik perhatianku dan merongrong jiwaku untuk segera menuliskan sebuah kisah yang pernah aku alami. Bahkan aku nyaris menitikkan air mata saat membaca paragraf tersebut. Sebenarnya sudah lama aku ingin menuliskan pengalamanku. Namun keraguan hati karena tidak ingin menyakiti atau menyinggung orang lain. Aku tidak ingin mempulikasikan hal menyakitkan yang pernah terjadi. Namun setiap mendapat berita tentang seorang ibu seperti kejadian di atas, mendengar komenter-komentar dari banyak orang aku ingin sekali menuliskan kisahku. Hal itu disebabkan karena aku pernah berada pada posisi nyaris seperti berita tersebut. Namun aku bersyukur situasiku bisa membaik, dan suamiku sangat tangkas. Ternyata inilah saatnya aku harus menuliskannya.

Kisah bermula saat aku melahirkan anak pertama. Sama seperti ibu-ibu lain aku sangat bahagia menyambut kedantangan putraku. Selama membawanya dalam kandungan aku mimiliki rencana terbaik yang ingin auberikan kepadanya. Aku mempersiapkan diri secara mental untuk melahirkannya. Aku ingin melahirkan normal sehingga kesehatanku pulih lebih cepat. Aku ingin memberikannya ASI terbaik eksklusif selama 6 bulan penuh. Aku harus kuat dan sehat menyambutnya. Dan aku sangat bahagia menjelang melahirkannya. Walau akhirnya aku akan mengalami sakit yang luar biasa dimasa-masa kontraksi namun aku bertahan harus normal dan aku yakin bisa. Pujian dan sanjungan yang diberikan dokter cukup membantu dan memberikan kekuatan lebih buat aku. Suami yang tidak beranjak dari ruang bersalin memberi kenyamanan buatku.

Setelah melewati hampir 12 jam kesakitan akhirnya anakku lahir dengan selamat. Rasa sakit yang kurasa hilang sejenak mendengar suara tangisannya. Entah apa yang terjadi setelah itu aku tidak rasakan lagi. Aku fokus dengan anakku yang ditidurkan di dadaku. Menenangkannya dari tangisannya dan menitikkan air mata bahagia. Akhirnya proses persalinanpun berakhir. Aku di masukkan ke ruang inap sementara anakku dimasukkan ke ruang bayi. Tidak ada yang mengganjal, semua baik-baik saja. Esok hari aku sudah diijinkan untuk duduk dan jalan pelan di sekitar kamar. Pagi hari aku sudah dimandikan oleh suami. Akupun keluar menghirup udara segar beberapa saat dan kembali masuk saat serapan tiba. Aku makan dengan baik. Semuanya tampak baik-baik saja.

Aku meminta supaya anakku di antar untuk kuberi minum. Anakkupun di antar dan aku belajar memberi dia minum. Namun sebagai ibu muda yang belum memiliki pengalaman sama sekali aku kewalahan dan kebingungan bagaimaan memberinya. Dan saat itu tidak ada yang mendampingiku untuk mengajari. Dengan perjuangan panjang akhirnya anakku bisa Nen, walau ternyata ASI nya belum keluar. Aku konsultasi dengan perawat katanya hal itu biasa dan tidak masalah. Menunggu ASI nya keluar pihak rumah sakit meminta kami membelikan susu formula. Walau dengan berat hati kamipun membelinya dan menyerahkannya kepada suster. Aku tidak mungkin membiarkan anakku kehausan di saat aku sendiri belum memproduksi ASI. Dan jiwakupun masih tetap tenang bagai tidak ada masalah.

Tragedi hadir di hari ke 2 setelah persalinan. Di pagi hari aku hendak duduk namun aku sudah merasakan kejanggalan. Aku tidak bisa duduk. Ada rasa sakit yang tidak tertahankan saat aku duduk. Bahkan aku sampai menangis karena rasa sakitnya. Aku merasa ada benjolan kecil di bagian dubur. Aku tidak tahu apakah itu bekas jaitan setelah lahiran atau ambeyen. Namun yang pasti sakitnya luar biasa. Di tambah lagi sudah 3 hari ternyata aku belum juga BAB. Saat kunjungan dokter aku langsung menyampaikan keluhanku. Dokterpun heran dan memeriksa kondisiku, namun katanya semua baik-baik saja. Hingga siang hari aku juga belum baikan, kembali aku meminta suami untuk bertanya kepada dokter. Dokter awalnya susah memberikan obat mungkin karena pertimbangan dampak terhadap bayiku, namun sakitnya betul-betul luar biasa. Dengan terpaksa dokter memberikan aku 1 buah pil kecil dan langsung ku telan.

Beberapa jam kemudian masalah BAB dapat teratasi dan akupun sedikti merasa nyaman, bahkan rasa sakit yang aku alami sepertinya sudah berkurang hingga akhirnya hari ke 3 kamipun diijinkan untuk pulang. Setiba di rumah ternyata rasa sakitnya muncul lagi. Aku langsung berbaring di tempat tidur yang sudah disiapkan adek-adekku sebelumnya. Aku menangis namun ternyata bayiku juga menangis. Aku berusaha untuk duduk dan menenangkan bayiku. Dengan perjuangan yang sangat berat aku berhasil duduk namun dengan posisi sedikit mengangkat paha sebelah kiri. Berhasil duduk aku kembali berjuang untuk menggendong anakku. Aku bagaikan mahluk yang tidak berdaya sama sekali. dari mahluk yang tahan banting aktif dan cekatan. Semua berbalik 180 derajat. Berjuang untuk duduk sambil mendengar tangisan bayiku yang tidak henti-hentinya aku juga harus berjuang untuk memberinya minum. Aku sudah mulai paham bagaimana memberinya minum karena saat dirumah sakit sudah hampir berhasil. Namun apa yang aku alami? Penderitaanku belum berakhir, ternyata si bayi mengalami gejala bingung puting. Mungkin karena dia sudah terlanjut mengenal dodot terlebih dahulu. Saat aku hendak memberinya ASI si bayi terlihat sangat takut dengan ekspresi mata melotot. Bahkan aku sangat terkejut melihat ekspresi si bayi yang masih berumur 3 hari itu.

Aku berusaha memberikannya nen namun si bayi menolak dan seperti berontak dengan menjauhkan kepalanya. Tangisannya pun semakin menjadi. Aku sedih aku kesal dan aku pun gamang. Aku merasa bagaikan wanita yang tidak berguna. Aku merasa bagaikan ibu yang tidak bisa apa-apa. Aku merasa tertekan. Situasi yang berbalik 180 derajat menghancurkan harga diriku. Menghancurkan harapanku. Aku merasa tidak mampu memberikan yang terbaik buat anakku. Aku merasa gagal dengan semua rencanaku. Padahal aku sangat antusias dan percaya diri akan bisa memberikan yang terbaik. Namun rasa percaya diriku runtuh dalam hitungan hari.

Kuletakkan bayiku di samping bagian terluar tempat tidur. Sementara aku tidur menghadap dinding. Aku membelakangi si bayi yang menangis semakin menjadi-jadi. Aku tidak perduli dia akan terjatuh. Aku menangis meratapi kegagalanku. Aku menangis meratapi ketidakmampuanku. Tangisan si bayi menambah rasa gamang yang aku alami. Dengan penuh emosi aku membalikkan tubuh dan ingin sekali menendang si bayi. Namun saat itu aku tidak mampu karena memang kondisiku yang lemah. Aku hanya bisa memolototi si bayi dengan penuh kebencian. Untung suamiku segera datang dari dapur dan mengambil si bayi. Beberapa detik lagi mungkin tangaku akan beraksi. Aku benci si bayi, aku bahkan benci saat melihat dia di gendongan ayahnya. Aku membalikkan tubuhku kembali ke dinding dan kembali menagis. Entah bagaimana, entah sudah berapa lama akhirnya si bayipun diam dan suami meletakkan anakku di sampingku. Suamiku meminta aku supaya mendekap si bayi. Aku berbalik namun tidak mampu memdekapnya. Masih ada rasa benci padanya.

Dengan posisi setengah tidur aku memeluk suamiku dan meminta maaf. Aku menangis semakin menjadi. Aku meminta maaf karena menjadi ibu yang tidak berguna. Aku minta maaf karena tidak bisa memberi anakku pelayanan terbaik. Aku minta maaf karena aku lemah tidak berdaya. Aku minta maaf karena aku tidak mampu mengatasi rasa sakit yang kau alami. Aku tidak tahu apakah suami menyadari bahwa ada yang lain dalam diriku saat itu aku tidak tahu, namum sepertinya aku mengalami Baby blues.

Pada saat itu aku tidak mengenal apa yang disebut dengan Baby blues yang merupakan depresi pascah melahirkan. Namun belakangan aku sering membaca artikel terkait di sosial media. Akupun mempelajarinya semakin dalam aku sadar bahwa apa yang ku alami kala itu adalah baby blues. Dan kini aku bersyukur bisa melewati hal itu dengan baik. Aku bersyukur karena tidak sampai pada titik bunuh diri atau bahkan mencelakai anakku. Kini aku sadar bahwa aku tidak boleh menyalahkan diri sendiri. Aku harus berhenti merasa bersalah karena hal itu marupakan diluar kendaliku.

Ia saat itu banyak perasaan bersalah yang aku rasakan. Bahkan setelah kondisiku tenang aku sudah bisa menerima keadaan aku justru mendapat rasa bersalah yang lain. Aku merasa bersalah karena ingin menendang bayiku. Kejadian itu terus terngiang-ngiang di kepalaku. Padahal itu bukanlah sesuatu yang aku sengaja. Bahkan selain saat itu tidak pernah sedikit pun terlintas hal jahat dalam hati menyangkut bayiku namun dalam sekejap aku nyaris berubah jadi orang yang begitu kejam.

Aku sudah berusaha menerima situasi yang terjadi. Aku sudah menerima kenyataan bahwa anakku tidak mau nen. Aku mengubah strategi dengan memompa ASI-nya. Walau sakit,walau lelah namun aku tetap semangat melakukannya. Demi anakku rasa sakit mulai mampu aku terima. Walau tetap tidak bisa full ASI minimal anakku tidak hanya mengkomsumsi susu formula. Beberapa hari aku mulai pulih ternyata penderitaanku belum berakhir. Disaat aku sedang menata hati dan menerima keadaan masalah kembali datang. Yang lebih menyakitkan masalah datang dari orang-orang dekat yang berkunjung melihat. Orang terdekat yang seharusnya menjadi tempatku untuk belajar dan berbagi masalah. Orang yang seharusnya mengajarkanku dengan berbagai hal tentang proses pemulihan dan memberikan solusi akan masalah yang kuhadapi. Namun ternyata menjadi orang yang membuat aku semakin terpuruk.


Mulut. Ia mulut yang mengeluarkan kata-kata pedas mampu menyayat hati kita. Saat sedang berjuang namun ada orang yang menghina. Kata pertama yang keluar dari mulutnya adalah hinaan dengan menyatakan bahwa apa yang kuberikan kepada anakku adalah kampungan. Disaat seseorang langsung menyatakan bahwa aku tidak layak jadi seorang ibu. Aku diam dan berusaha tegar. Aku berusaha untuk tidak mengubah ekspresi seolah-olah semua baik-baik saja. Namun aku tidak mampu hingga akhirnya pergi ke kamar mandi dan air mataku kembali mengalir deras. Aku menangis sesunggukan tanpa suara dengan posisi berdiri. Aku yang baru melahirkan 1 minggu terpaksa bertahan berdiri di kamar mandi untuk waktu yang cukup lama. Keluar dari kamar mandi aku berusaha membuat ekspresi normal. Namun aku gagal dan masuk kamar. Aku memanggil salah satu anak kost yang tinggal di rumah. Aku meluapkan perasaanku kepadanya. Aku memuaskan tangisanku dihadapannya. Aku harus mengeluarkan gejolak yang kurasa sebelum menjadi bom waktu bagiku. Aku harus mencari orang sebagai pelampisan ketika suami tidak bisa menjadi tempatku mencurahkan. Aku takut suami akan tersinggung dan sakit hati, atau mungkin merasa bersalah. Untuk menghindari itu maka aku mencari orang lain. Hampir 1 minggu kemudian hari-hariku diwarnai dengan tangisan. Terkadang aku bersembunyi di sudut dapur untuk makan karena tidak ada yang menyiapkan walau banyak orang.

Aku bersyukur ada anak kost yang setia menemani dan membantuku dalam mengatasi masalah yang aku hadapi. Terkadang dia menenangkanku dan mengingatkan untuk harus menjaga hati atapun mood ku. Hingga akhirnya aku bersyukur, dengan begitu banyaknya air mata yang mengalir aku tidak mengalami bluding. Satu minggu bersama saudara yang harusnya menjaga dan merawat namun menjadi orang yang memberikan tekanan dan rasa stress yang tinggi. Tidak beriman? mudah putus asa? entahlah terserah orang mau bilang apa, namun yang aku yakini pasti bahwa aku bukan orang yang gampang sakit hati ataupun tersinggung. Tetapi pada masa-masa melahirkan aku memiliki hati yang sangat sangat sangat sensitif.

Dari pengalaman menyakitkan yang pernah kualami, akupun belajar untuk menghargai seorang ibu yang baru melahirkan. Sebisa mungkin aku berusaha untuk tidak menyinggung perasaanya? Ko Operasi? Ga pandai kau bikin bajunya. Ko anaknya kurus?. Ko kau buat seperti ini? Ko kau buat seperti itu? Apapun itu sekuat tenaga aku menghindari kata-kata yang seolah-olah menyalahkan si ibu yang baru melahirkan. Bahkan walau terkadang aku melihat sesuatu yang salahpun aku lebih baik diam daripada berbicara yang mungkin akan menyakiti hatinya. Bahkan aku sering menegur ibuku ketika memberi komentar terhadap menantunya yang baru melahirkan.Aku tidak mau apa yang pernah ku alami akan di alami perempuan lain, mimimal perempuan terdekatku.

Untuk itu kepada kaum perempuan yang berkunjung melihat ibu yang baru melahirkan. Mari jaga hati dan mulut kita. Jangan pernah menghakimi mereka. Jika kita tidak bisa membuat dia senang dengan kehadiran kita minimal jangan menyakitinya. Suami, Mertua, Ipar stop memberikan komentar yang menyakitkan bagi ibu yang baru melahirkan. Apalagi seyogianya kehadiran tiga komponen ini seharunya orang terdekat yang harus mendukung dan memahami kondisi ibu baru melahirkan bukan menjadi orang yang mendorong si ibu depresi bahkan berujung ke hal di luar nalar.

Kembali ke kisah di awal, seorang ibu yang tega membawa kandungnya pergi selamanya? Menghakimi menurutku bukanlah hal yang tepat untuk kita lakukan. Karena kita tidak tahu apa yang dia alami. Kita tidak tahu apa yang sedang terjadi. Kita tidak tahu apakah suaminya baik dan paham dengan kondisi istrinya? Kita tidak tahu bahkan ketika suaminya saja baik dan si ibu berbahagia dengan kehadiran si anak bisa berubah dalam hitungan detik bukan karena di sengaja. Aku tahu bahwa membenarkan tindakan itu juga tidak lah tepat. Maka untuk itu lebih baik diam dari pada menghakimi sesuatu yang tidak kita ketahui persoalannya.

Sekali lagi dengan tegas aku katakan "Stop membuly seorang ibu yang melahirkan apalagi dari suami, mertua, dan ipar.

Keterangan gambar: Anak yang dulu nyaris aku tendang ketika berumur 3 hari karena baby blus kini sudah kelas 6 SD tumbuh dengan sehat, pintar dan penuh tanggung jawab buat adek-adeknya.


Komentar

  1. Balasan
    1. Terima kasih eda, saat itu aku begitu terpuruk, jadi kalau lihat orang baru melahirkan aku takut dia juga mengalami hal yang sama. jadi tidak perlu memberi komentar miring kalau tidak bisa memberi pujian

      Hapus

Posting Komentar